Saat Akhwat Mengajukan Diri (ending)
"Trus akhirnya udah ada progress dari Mbak Nany dan Mbak Syifa?"
Ka Mia menyeruput juice strawberry-nya baru kemudian melanjutkan cerita, dengan sedikit menghela nafas.
"Huuffhh. Ya, aku udah dapet kabar dari Mbak Syifa, baru aja kemarin Mbak Syifa meminta aku kerumahnya. Jadi ternyata, Mbak Nany itu harus nanya dulu ke Murobbiyahnya untuk mencari tahu siapa Murobbi Sang Ikhwan. Makanya agak lama juga progressnya, hampir satu bulan. Mbak Syifa ga tau bagaimana Murobbi Mbak Nany mengkomunikasikan hal ini ke Murobbi Sang Ikhwan, yang jelas Mbak Syifa mohon tidak menyebutkan namaku, untuk menjaga izzah. Trus barulah dapet kabar kalo Murobbi Ikhwan itu agak keberatan dengan akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, dan ada kemungkinan Murobbi Ikhwan itu sudah punya proyeksi akhwat lain untuk Sang Ikhwan. Mungkin Sang Murobbi menginginkan binaanya ta’aruf dimana masing-masing belum saling kenal, berbekal dari CV pilihan sang Murobbi, masih seperti jaman awal da’wah dulu. Kalo kata Mbak Syifa, kebanyakan Murobbi Ikhwan itu biasanya memang masih belum menerima jika ada akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, beda dengan Murobbi Akhwat yang lebih terbuka dan ga mempermasalahkan kalo ada akhwat yang mengajukan diri. Jadi memang agak sulit kalo Mbak Syifa harus ngomong langsung ke Murobbi Sang Ikhwan. Soalnya kan udah tau pandangan Murobbi Ikhwan itu terkait akhwat yang mengajukan diri lebih dulu, seperti apa. Lagipula sempat disinggung kemungkinan sudah ada proyeksi akhwat lain untuk sang ikhwan dari Murobbinya. Kalo Mbak Syifa langsung menghubungi Murobbi Sang Ikhwan, itu pasti mau ga mau akan membuka namaku. Mbak Syifa juga masih bingung makanya mau gimana kelanjutannya dan keputusan itu diserahkan ke aku; mau dihentikan atau mau tetap lanjut tapi gimana caranya? Ya, gitu deh ceritanya... Gimana tanggapanmu, Dhir?" Ka Mia mengakhiri cerita itu dengan senyum simpulnya.
Aah... Ka Mia masih bisa tersenyum dengan kabar seperti itu. Jika aku berada di posisinya mungkin sudah menyerah dengan perjuangan untuk menuju ta'aruf yang super duper ribet seperti itu. Belum aja ta'aruf, sudah ribet sedemikian rupa, apalagi jika sudah ta'aruf dan menuju jenjang pernikahan.
"Hoalah... Kok ribet banget ya ka? Murobbi ikhwan udah jelas-jelas keberatan kalo akhwat mengajukan diri lebih dulu dan sepertinya udah punya proyeksi akhwat lain untuk Sang Ikhwan. Uppss... maaf Ka..." aku menahan kata-kata lainnya untuk dikeluarkan, khawatir menyinggung perasaan Ka Mia.
"Kok minta maaf? Ga papa Dhir... Ya begitulah ikhwan, kadang sulit dimengerti. Aku juga belum tau apakah Sang Ikhwan memiliki kecenderungan yang sama atau ga sepertiku. Masalahnya, baru kali ini aku menemukan seseorang yang aku rasa 'klik' denganku, maka aku mau coba berusaha mengikhtiarkan jalan ini. Di usia yang sudah seharusnya menikah, apalagi yang ditunggu jika ada seseorang yang dirasa sudah cocok dengan kita. Jalan satu-satunya adalah mengikhtiarkan walaupun aku belum tau sebenarnya apakah ikhwan itu punya kecenderungan yang sama. Jika sudah diikhtiarkan jadi ga penasaran. Toh kalo jodoh ga kemana kan?"
Aah... Kata-katanya ini sungguh menancap dalam ke relung hatiku. Usia Ka Mia yang saat ini sudah menginjak 26 tahun memang sudah selayaknya menikah. Aku saja yang 3 tahun dibawahnya juga sedang dalam pencarian dan penantian, apalagi Ka Mia yang sudah bertahun-tahun mencari dan menanti. Tak terbayangkan bagaimana perasaannya selama itu menanti.
"Iya, ka... insya Allah jodoh ga pernah ketuker. Kalo memang Ka Mia berjodoh di dunia ini dengan ikhwan itu, insya Allah jalan menuju kesana pasti terbuka. Hmm... kalo menurutku ga masalah sebenernya akhwat mengajukan diri lebih dulu, itupun ada contohnya dari bunda Khadijah. Ya tapi memang ga lazim aja di jaman sekarang ini, masih dianggap tabu bagi sebagian besar orang. Oya, aku mau tanya sama Kakak donk, apa Kakak udah tahu betul bagaimana akhlaq Sang Ikhwan hingga akhirnya Kakak berniat mengajukan diri lebih dulu?" naluri konsultan mulai muncul dalam diri.
"Insya Allah udah, Dhir. Ketika aku mengutarakan hal ini ke Mbak Nany, yang juga kenal baik dengan ikhwan itu, aku juga minta dijelaskan bagaimana karakter dan sifat Sang Ikhwan selama bekerjasama dengan Mbak Nany. Mbak Nany bilang, Sang Ikhwan punya daya juang yang tinggi, walau terlihat selengekan termasuk yang mudah dinasihati. Untuk kesiapan menikah dalam waktu dekat, Mbak Nany melihat sudah ada kesiapan dari Sang Ikhwan. Tapi mungkin ada sedikit masalah pada financial karena Sang Ikhwan masih harus membiayai adiknya yang masih SMA dan yang masih skripsi. Dari penjelasan Mbak Nany, makin memantapkan diriku, Dhir," jelas Ka Mia.
"Hoo... bagus deh kalo gitu Ka. Karna kan ketika bunda Khadijah ingin mengajukan diri, beliau mencari tahu dulu akhlaq Muhammad melalui perantara Maisarah, orang kepercayaannya, dengan melakukan perjalanan dagang bersama. Trus setelah tahu dan mantap, baru deh meminta Nafisah, wanita setengah baya, untuk ngomong dari hati ke hati sama Muhammad. Ga langsung nembak bahwa Khadijah suka dan menginginkan Muhammad sebagai suaminya. Tapi menanyakan hal-hal umum terkait kesiapan Muhammad tentang pernikahan dan apakah sudah ada calon atau belum. Ketika Muhammad bilang belum ada calon, maka Nafisah mengajukan wanita dengan kriteria tertentu, rupawan, hartawan dan bangsawan, tidak menyebutkan bahwa Khadijah orangnya. Namun dari kriteria yang disebutkan itu, Muhammad pun paham siapa yang dimaksud. Ya, berarti Kakak udah menempuh jalan sampai tahap Maisarah, tinggal mencari Nafisahnya Ka."
"Hmm... iya betul, Dhir... Aku juga sempat terpikir hal itu, tapi siapa ya yang bisa menyampaikannya?"
"Sebenernya menurutku, Mbak Nany juga bisa langsung berperan sebagai Nafisah. Tadi kan Kakak bilang agak sulit dengan Murobbi ikhwannya. Kan bisa aja Mbak Nany yang mancing lebih dulu, untuk ta'aruf selanjutnya bisa diserahkan via Murobbi, jika tentunya Sang Ikhwan juga punya kecenderungan yang sama. Setidaknya Mbak Nany bisa mengorek informasi apakah Sang Ikhwan sudah punya calon yang akan dinikahi atau belum, atau sudah ada kecenderungan dengan akhwat lain atau belum. Kalo belum, bisa aja dengan sedikit candaan, Mbak Nany menawarkan ke Sang Ikhwan, sambil ngomong kayak gini: saya ada akhwat nih yang udah siap nikah dan sedang mencari pendamping, bersedia ga? Kriterianya bla bla bla, nyebutin kriterianya Ka Mia. Kalo Sang Ikhwan bersedia dengan kriteria yang disebutin, Mbak Nany bisa langsung kasih tahu kalo akhwat yang udah siap nikah itu adalah Ka Mia. Mbak Nany, Ka Mia dan Sang Ikhwan kan udah saling kenal, jadi lebih gampang seharusnya. Nah, nanti kan jadi makin tahu gimana respon Sang Ikhwan jika ternyata akhwat yang ditawarkan itu Ka Mia. Kalo ikhwan bilang lanjut, maka dia bisa langsung bilang ke Murobbi-nya kalo dia sudah siap nikah dan sudah punya nama. Kalo udah binaan sendiri yang bilang ke Murobbi mah, biasanya udah gampang Ka, apalagi udah ngajuin nama. Kalo kayak gini prosesnya kan jadi ga keliatan kalo Ka Mia yang mengajukan diri lebih dulu, tapi harus bermain 'cantik' dalam proses, jangan sampai Sang Ikhwan tahu kalo Ka Mia mengajukan diri. Hehe..." panjang lebar aku menjelaskan bagaimana sebaiknya penerapan proses Ka Mia dan Sang Ikhwan seperti proses Khadijah dan Muhammad.
"Hwwaaa... Dhiraaa, kamu udah kayak konsultan jodoh aja deh. Jadi tercerahkan nih aku jadinya" Ka Mia menepuk pipiku yang gembul.
"Semoga bisa sedikit ngasih solusi untuk proses Kakak yang rumit itu, masa' hanya gara-gara Murobbi ikhwan, langsung mundur? Ada banyak jalan menuju Roma... hehe..."
"Sip, insya Allah... Naaah, kamu sendiri gimana nih Dhir? Udah nemu yang cocok denganmu belum?" tembak Ka Mia kepadaku.
"Hehe... aku mah sabar aja Ka dalam penantian ini, nunggu Pangeran Berkuda Putih dateng ngelamar aja, hehe..." jawabku sedikit asal.
"Sabar dalam penantian itu bagi seorang akhwat ga berarti pasif, tinggal nunggu. Akhwat juga harus aktif dalam penantian. Jumlah akhwat itu jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ikhwan. Terlepas dari jodoh adalah takdir, tetep harus ikhtiar yang terbaik untuk mencari calon imam bagimu dan anak-anakmu kelak. Memang benar jodoh itu di tangan Allah, tapi kita juga harus aktif berikhtiar mengambil dariNYA. Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa, katanya target tahun ini kan? Tentunya dengan tetap menjaga izzah sebagai seorang akhwat dan jangan pernah tinggalkan istikharah dalam mengambil tindakan apapun..." ujar Ka Mia memberi masukan untukku.
"Hahaha... ga jadi tahun ini Ka... Ga keburu... Jadi, tahun depan aja targetnya insya Allah... hehe..."
"Jiiaahhh... kamu ini udah siap belum sih? Apa cuma sekadar ingin menikah? Lagi labil gitu maksudnya..." ledek Ka Mia.
"Siap gak siap mah harus nyiapin diri Ka... Tapi apa mau dikata kalo Pangeran Berkuda Putihnya belum muncul-muncul juga?" aku menimpali ledekan Ka Mia.
"Yaudah, kita saling mendoakan ya yang terbaik, dan ikhtiar yang terbaik juga... Jazakillah ya Dhir, udah mau denger ceritaku dan ngasih solusinya... Aku cerita ini cuma ke tiga orang, Mbak Syifa, Mbak Nany dan kamu. Bahkan aku cerita detail seperti ini cuma ke kamu loh... Hehe..."
"Sama-sama Ka, ceritanya menginspirasi banget. Jarang loh ada akhwat yang berani mengajukan diri. Dan aku rasa, hanya akhwat tangguh yang bisa seperti itu. Tangguh akan perasaan dan hatinya. Alhamdulillah kalo ada respon positif dari Sang Ikhwan, kalo responnya negatif? Hanya akhwat tangguh yang bisa menerima kemungkinan kedua; ditolak... Aku salut deh sama Kakak. Semoga lancar urusannya ya Ka... Doain aku juga, semoga Pangeran Berkuda Putihku segera datang menjemputku... hehe..."
"Aamiin... insya Allah saling mendoakan yang terbaik..."
Kami pun menyudahi dinner. Ka Mia menungguku hingga naik bajaj. Ah, sungguh malam yang berkesan dalam kebersamaan dengan saudari seperti Ka Mia.
***
Sesampai di rumah, kurebahkan diri ini di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang tak begitu tinggi. Pandangan kualihkan ke sebelah kanan tempat tidur. Ada sebuah diary biru yang tergembok. Aku buka dompetku dan kukeluarkan sebuah kunci di sela-sela saku dalamnya. Gembok 'blue diary' itu pun kubuka. Kuraih ballpoint tepat di samping kananku. Baru saja tangan ini tergerak untuk menulis, terdengar sebuah dering dari HP-ku. Kuraih HP dan terteralah sebuah pesan dari YM-ku.
"Asslm. Dhir, gmana nih kabarnya? lagi deactive FB ya?"
Ah... Rasa yang tak biasa itu muncul lagi, tepat di hari ke-7 aku mendeaktif akun FBku. Kenapa nama seorang ikhwan yang tertera di YM-ku menyadari bahwa aku sedang mendeaktif FB-ku? Kata-kata Ka Mia pun terngiang:
"...Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..."
"...Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..."
"...Kalo memang di sekitarmu ada ikhwan yang dirasa cocok denganmu, coba aja kamu ajukan diri, bilang ke Mbak Syifa..."
Segera kutepis kata-kata itu dan mencoba menepis rasa yang terlanjur ada. Tak terasa, bulir-bulir hangat itu membasahi pipi. Kugerakkan tangan ini untuk menulis dalam 'blue diary'.
Jika anugrah itu membahagiakan
Maka cinta yang [katanya] merupakan anugrah dariNYA
Seharusnya juga membahagiakan
Namun adakalanya
Ada yang merasa tak bahagia dengan cinta
Atau janganlah terlalu dini menyebutnya cinta
Mari kita sebut saja sebuah rasa
Rasa yang berbeda
Yang [lagi-lagi katanya] menggetarkan jiwa
Aha
Mungkin memang belum saatnya
Rasa itu ada
Hingga diri merasa nista dengan rasa
Atau jangan-jangan rasa yang ada
Didominasi oleh nafsu sebagai manusia
Jika itu permasalahannya
Maka titipkanlah rasa pada SANG PENGUASA
Biarkan ia yang belum saatnya, bersamaNYA
Biarkan waktu yang kan menjawabnya
Hingga Dia mengembalikan rasa itu jika saatnya tiba
Wanita... Wanita...
Slalu saja
Bermain dengan rasa
Maka mendekatlah padaNYA
Agar rasa yang belum saatnya
Tetap terjaga
Agar rasa yang ada
Tak membuat hati kecewa
Agar rasa yang dirasa
Tak membuat jauh dariNYA
Biarkanlah diri merasa nista dengan rasa
Jika ternyata nafsu tlah menunggangi ia yang belum saatnya
Hingga akhirnya membuat diri menangis pilu karenanya
Menangis karena menyadari bahwa dirinya masih rapuh ternyata
Masih perlu belajar bagaimana mengelola rasa yang belum saatnya
Ya Rabbana
Hamba titipkan rasa yang belum saatnya
Agar ia tetap suci terjaga
Hingga waktunya tiba
Ah... Aku bukanlah akhwat tangguh yang bisa memperjuangkan rasa yang terlanjur ada. Aku hanya akhwat biasa yang tak sanggup akan rasa yang belum saatnya, karena aku bukanlah Khadijah yang mulia.
Terimakasih sudah menyimak :)
Saat Akhwat Mengajukan Diri (ending)
Reviewed by Suhendra
on
9:01 PM
Rating:
Reviewed by Suhendra
on
9:01 PM
Rating:


Tidak ada komentar: